Pomaire: Desa Keramik Tradisional Chile – Tempat di Mana Tanah Liat Bercerita
Jujur, kalau bukan karena video TikTok yang viral tentang pottery wheel itu, mungkin saya nggak akan pernah tahu tentang Pomaire. Waktu itu lagi scroll sambil makan siang di kantor, terus nemu video orang bikin mangkuk dari tanah liat dengan gerakan tangan yang hipnotis banget. Caption-nya bilang ini di “desa keramik Chile” – langsung deh saya kepikiran.
Artikel terkait: Radal Siete Tazas: Tujuh Mangkuk Air Terjun Ajaib
Tapi ya gitu, kan saya tipe orang yang suka overthinking. “Desa keramik? Serius ini worth it buat dikunjungi?” Bayangin aja, udah jauh-jauh ke Chile, terus malah ngabisin waktu di desa yang mungkin cuma ada beberapa toko keramik doang. Awalnya sih saya pikir ini cuma tourist trap biasa yang dibesar-besarkan media sosial.
Eh ternyata… well, let’s just say ekspektasi saya totally wrong. Pomaire itu bukan cuma desa biasa dengan beberapa workshop keramik. Ini tempat di mana tradisi 400 tahun masih hidup, di mana setiap keluarga punya cerita turun-temurun tentang tanah liat, dan di mana saya belajar bahwa bikin keramik itu jauh lebih susah dari yang keliatan di video viral.
Yang bikin saya makin penasaran waktu itu, teman backpacker di hostel Santiago bilang kalau Pomaire itu “hidden gem yang belum terlalu mainstream”. Dia cerita pengalamannya workshop pottery sambil makan empanada raksasa – dan saya langsung mikir, “okay, this sounds interesting enough.”
Perjalanan Menuju Pomaire – Lebih Mudah dari Yang Dibayangkan
Dari Santiago ke Pomaire: Opsi Transportasi
Awalnya saya mau naik bus umum dari Terminal San Borja, tapi setelah riset lebih dalam (alias tanya mbah Google dan baca forum backpacker), ternyata ada cara yang lebih praktis dan nggak bikin pusing. Eh tunggu, saya salah sebut terminal tadi – maksud saya Terminal Alameda, bukan San Borja.
Micro bus dari Terminal Alameda ternyata pilihan terbaik. Harga tiketnya cuma sekitar 3.000 peso Chile (sekitar Rp 45.000), jauh lebih murah dibanding naik taksi yang bisa sampai 15.000 peso (Rp 225.000). Pro tip yang saya dapet dari pengalaman: beli tiket pulang-pergi langsung, dapat diskon 15%. Lumayan kan buat budget backpacker kayak saya.
Yang bikin hidup lebih gampang, aplikasi Red Bus Chile ternyata berguna banget buat ngecek jadwal dan beli tiket online. Cuma ya itu, sinyal di area rural menuju Pomaire agak-agak gimana gitu. Siap-siap aja HP bakal mati sinyal sekitar 30 menit terakhir perjalanan. Jadi kalau mau update Instagram story atau WhatsApp keluarga, lakukan sebelum masuk area pegunungan.
Ekspektasi vs Realitas Perjalanan
Google Maps bilang perjalanannya 45 menit. Realitanya? Satu jam lebih, terutama kalau kena macet di pintu keluar Santiago. Jalan menuju Pomaire itu berliku-liku melewati perbukitan, dan honestly, saya yang biasanya nggak mabuk kendaraan, kali ini agak mual juga. Mental note: next time bawa obat anti mabuk.
Tapi pemandangannya sih Instagram-able banget. Sawah dan kebun anggur yang hijau membentang, dengan latar belakang pegunungan Andes yang masih berselimut kabut pagi. Saya sampai foto-foto dari jendela bus, meski hasilnya agak blur karena jalanan yang bergelombang.
Ada satu hal yang bikin saya penasaran selama perjalanan: kenapa banyak banget anjing liar di pinggir jalan? Nanti saya baru tahu kalau ini memang karakteristik daerah rural Chile – anjing-anjing itu sebagian besar punya pemilik, cuma dibiarkan bebas berkeliaran.
Sejarah Pomaire yang Bikin Merinding – 400 Tahun Tradisi
Sampai di Pomaire, hal pertama yang saya lakuin adalah nyari informasi tentang sejarah tempat ini. Ternyata ada museum kecil di pusat desa yang dikelola sama Dona Carmen, nenek berusia 75 tahun yang jadi guide dadakan buat turis kayak saya.
“Pomaire” ternyata berasal dari bahasa Mapuche, suku asli Chile, yang artinya kurang lebih “tempat tanah yang baik untuk dibentuk”. Dan memang, tanah liat di sini punya kualitas khusus yang udah dikenal sejak masa kolonial Spanyol sekitar tahun 1600-an. Bayangin, tradisi keramik di sini udah berumur lebih dari 400 tahun!
Yang bikin saya merinding adalah saat Dona Carmen nunjukin foto-foto lama keluarga pengrajin yang turun-temurun. Ada foto hitam putih dari tahun 1920-an yang nunjukin kakek-nenek mereka lagi bikin keramik dengan teknik yang sama persis kayak sekarang. “Mira, mijo,” kata Dona Carmen sambil nunjuk foto, “mi abuelo hacía los mismos platos que hacemos hoy” (Lihat, nak, kakek saya bikin piring yang sama dengan yang kita buat hari ini).
Honestly, awalnya gue pikir ini cuma tourist trap biasa. Tapi setelah denger cerita-cerita dari Dona Carmen, saya jadi ngerti kenapa Pomaire itu special. Ini bukan cuma tentang keramik, tapi tentang bagaimana sebuah komunitas kecil bisa bertahan dan mempertahankan tradisinya di era modern.
Yang bikin saya makin respect adalah cerita tentang gempa 2010 yang ngehancurin banyak workshop dan rumah di Pomaire. Tapi komunitas di sini nggak nyerah. Mereka gotong royong rebuilding everything, dan bahkan menggunakan kesempatan itu untuk improve teknik dan fasilitas mereka.
Artikel terkait: Huilo Huilo: Resor Ramah Lingkungan di Hutan Hujan
Satu hal penting yang saya pelajari: jangan datang hari Senin kalau mau workshop pottery. Banyak workshop yang tutup hari Senin, dan beberapa pengrajin senior biasanya istirahat. Weekend lebih rame, tapi weekday (kecuali Senin) lebih intimate dan bisa dapet perhatian lebih dari master craftsman.
Workshop Keramik – Pengalaman Hands-On yang Bikin Ketagihan
Memilih Workshop yang Tepat
Kesalahan umum turis (termasuk saya awalnya) adalah langsung masuk workshop pertama yang ketemu. Padahal, ada perbedaan signifikan antara workshop yang terlalu komersial dengan yang masih autentik.
Saya sempat compare tiga workshop populer: Taller Tapia, Ceramica Pomaire, sama satu lagi yang namanya saya lupa (sorry, terlalu excited waktu itu jadi nggak catat). Taller Tapia lebih mahal tapi fasilitasnya modern dan instrukturnya bisa bahasa Inggris. Ceramica Pomaire lebih tradisional, harga moderate, tapi komunikasinya mostly dalam bahasa Spanyol.
Yang bikin saya kecewa adalah workshop ketiga yang terlalu komersial. Mereka lebih fokus jualan produk jadi daripada ngajarin proses pembuatan. Plus, harga workshop-nya overprice banget – 25,000 peso untuk sesi 1 jam, padahal di tempat lain cuma 15,000 peso untuk durasi yang sama.
Pro tip yang saya dapet: book online vs walk-in beda harga sekitar 25%. Tapi kalau book online, pastiin konfirmasi ulang via WhatsApp atau telepon, karena beberapa workshop masih old school dalam hal booking system.

Proses Pembuatan yang Bikin Frustasi (tapi Seru)
Okay, ini dia bagian yang bikin saya humble banget. Di video TikTok kan keliatan gampang ya, tinggal duduk di depan pottery wheel, terus tangan bergerak smooth, jadilah mangkuk cantik. Reality check: IT’S NOT THAT EASY!
Saya pilih workshop di Taller Tapia, dipandu sama Don Pedro yang udah 70 tahun dan udah 50 tahun jadi pottery master. Pria ini sabar banget, meski saya gagal mulu bikin centering clay di pottery wheel. Tangan saya gemetar terus, clay-nya malah melayang kemana-mana, baju putih saya jadi coklat total.
“Tranquilo, mijo, es normal,” kata Don Pedro sambil ketawa liat saya yang frustasi. Tadi saya bilang mudah, ternyata koordinasi tangan, kaki buat ngatur speed wheel, sama pressure buat shape clay itu butuh practice bertahun-tahun.
Yang bikin lucu, saya sempet video call teman-teman di grup WhatsApp, nunjukin proses bikin keramik. Mereka pada ketawa liat video saya yang gagal bikin mangkuk sederhana. Clay-nya malah collapse jadi flat pancake. “Bud, lo kayak lagi bikin pizza, bukan mangkuk,” komen salah satu teman.
Setelah 2 jam struggle, akhirnya saya berhasil bikin satu mangkuk kecil yang… well, let’s call it “rustic style”. Don Pedro bilang hasil karya saya bisa di-firing dan dikirim ke Indonesia dengan tambahan biaya $15 untuk shipping. Worth it sih, considering ini hasil keringat dan air mata saya.
Produk Jadi dan Ekspektasi Realistis
Yang bikin saya appreciate banget adalah transparency Don Pedro tentang ekspektasi realistis. Dia nunjukin perbandingan antara hasil karya newbie kayak saya dengan karya master craftsman. Perbedaannya… astronomical.
Proses firing butuh 2 hari, jadi kalau mau ambil hasil karya, harus plan accordingly. Atau kalau nggak bisa balik lagi, mereka bisa kirim via pos dengan packaging yang aman. Don Pedro bahkan kasih live update via Instagram story workshop-nya, jadi saya bisa liat proses firing mangkuk buatan saya dari jauh.
Kuliner Pomaire – Empanada Raksasa yang Bikin Kenyang 3 Orang
Setelah capek workshop pottery, saatnya hunting makanan. Dan di sinilah saya menemukan salah satu highlight trip ini: empanada raksasa!
Di Restoran La Greda (yang btw, “greda” itu bahasa Spanyol untuk clay), mereka punya empanada de pino sebesar piring dinner! Seriously, empanada normal itu beratnya sekitar 150 gram, yang ini 500 gram. Harganya 8,000 peso (sekitar Rp 120,000), tapi honestly bisa buat bertiga.
Saya pesan satu empanada buat makan sendiri – big mistake. Setelah seperempat empanada, saya udah kenyang banget. Akhirnya saya share sama couple turis Brazil yang duduk di meja sebelah. Mereka juga shock liat size empanada-nya.
Artikel terkait: Lembah Horcones: Surga Fotografer Landscape
Yang bikin experience makin memorable adalah chicha de uva (wine anggur lokal) yang mereka serve. Rasanya light dan fruity, tapi ternyata alkohol content-nya lumayan tinggi. Saya yang biasanya nggak minum alkohol, jadi agak tipsy tanpa sadar. Good thing saya nggak nyetir sendiri ke Pomaire.
Sopaipillas yang dibuat di clay pot tradisional juga must-try. Teksturnya beda banget sama sopaipillas yang dijual di Santiago. Lebih crispy di luar, tapi soft di dalam. Dan karena dimasak di clay pot, ada aroma earthy yang subtle tapi distinctive.
Satu hal yang saya pelajari tentang etika makan di sini: jangan langsung foto makanan sebelum izin ke yang punya warung. Beberapa warung tradisional masih sensitif sama turis yang lebih fokus foto daripada appreciate makanan mereka.
Oh ya, ada satu restoran yang saya avoid – yang di ujung jalan utama dengan dekorasi fancy. Overpriced banget dan porsinya kecil. Local yang saya tanya bilang itu “trampa para turistas” (jebakan turis).
Belanja Keramik – Seni Tawar-Menawar dan Pilihan Bijak
Pasar Keramik vs Toko Individual
Setelah kenyang makan, saatnya shopping keramik. Ada dua opsi utama: pasar keramik tradisional di pusat desa, atau toko-toko individual yang tersebar di sepanjang jalan utama.
Pasar tradisional lebih rame dan harga lebih negotiable, tapi kualitas produknya mixed. Ada yang bagus banget, ada juga yang clearly mass-produced (kemungkinan besar impor dari China). Toko individual biasanya lebih mahal, tapi kualitasnya lebih konsisten dan banyak yang handmade by local artisans.
Saya sempet compare harga antara kedua opsi. Untuk miniatur chanchito (babi tanah liat yang jadi simbol Pomaire), di pasar dijual 3,000-5,000 peso, di toko individual 7,000-10,000 peso. Tapi setelah negotiation di pasar, saya dapet diskon 40% untuk pembelian 5 pieces.
Yang bikin saya bangga sama skill tawar-menawar: awalnya vendor minta 25,000 peso untuk set piring clay, akhirnya saya dapet 15,000 peso. Triknya: jangan keliatan terlalu interested, compare harga di beberapa toko dulu, dan always ready to walk away.
Souvenir Terbaik dan yang Sebaiknya Dihindari
Berdasarkan pengalaman dan advice dari locals, miniatur chanchito adalah souvenir terbaik. Ukurannya compact, nggak gampang pecah, dan punya makna cultural significance. Harga reasonable juga, sekitar 3,000-8,000 peso tergantung size dan detail.
Yang sebaiknya dihindari: piring besar atau vas bunga ukuran jumbo. Selain risky buat dibawa pulang, shipping cost-nya bisa lebih mahal dari harga barangnya. Saya sempet tanya shipping ke Indonesia untuk vas setinggi 30 cm, ternyata ongkirnya $45 – lebih mahal dari vas-nya yang cuma $25.

Untuk yang mau kirim via pos Chile, prosesnya lumayan ribet. Harus ke kantor pos di Melipilla (kota terdekat), packing sendiri dengan standar internasional, dan processing time-nya 3-4 minggu. Alternatifnya, beberapa toko besar bisa handle shipping, tapi dengan markup 50-100%.
Reality check yang penting: pilih keramik fungsional yang bakal kepake, bukan cuma hiasan yang nanti jadi dust collector di rumah. Mangkuk kecil, cangkir, atau piring salad size lebih praktis dan sustainable.
Yang bikin saya appreciate banget adalah transparansi beberapa vendor tentang asal produk mereka. Ada yang jujur bilang kalau produk tertentu import dari China tapi di-finishing di Pomaire. Harganya memang lebih murah, tapi ya beda banget sama yang pure handmade local.
Tips Praktis dan Kesalahan yang Harus Dihindari
Timing Kunjungan
Pengalaman saya datang di bulan April (musim gugur Chile) ternyata timing yang pas. Cuacanya mild, nggak terlalu panas atau dingin, dan workshop pottery jadi lebih comfortable. Tapi saya denger dari locals, kalau datang musim hujan (Juni-Agustus), jalan menuju Pomaire bisa becek dan beberapa workshop outdoor tutup.
Artikel terkait: Vicuña: Kampung Halaman Pisco Terbaik
Weekend vs weekday punya pro-cons masing-masing. Weekend lebih rame, banyak pilihan workshop yang buka, tapi juga lebih crowded dan harga cenderung lebih tinggi. Weekday lebih sepi, dapat attention lebih dari craftsman, tapi pilihan workshop lebih terbatas.
Satu penyesalan saya: ternyata ada festival keramik tahunan setiap Oktober, tapi saya nggak tahu jadwal pastinya. Kalau tahu, pasti saya adjust travel plan buat coincide sama festival itu. Next time harus riset lebih dalam tentang local events.
Budget Planning
Breakdown realistis untuk day trip ke Pomaire (per orang):
– Transport PP Santiago-Pomaire: 6,000 peso (~Rp 90,000)
– Workshop pottery (2-3 jam): 15,000-20,000 peso (~Rp 225,000-300,000)
– Makan siang: 8,000-12,000 peso (~Rp 120,000-180,000)
– Souvenir: 10,000-30,000 peso (~Rp 150,000-450,000)
– Miscellaneous: 5,000 peso (~Rp 75,000)
Total: sekitar $45-60 per orang (Rp 675,000-900,000).
Yang bikin ribet, di Pomaire cuma ada satu ATM dan sering kosong cash. Saya sempet panic waktu cash saya habis dan ATM-nya out of service. Untungnya, beberapa toko besar nerima kartu kredit, dan ada satu money changer kecil yang mau tukar USD cash dengan rate yang reasonable.
What to Bring
Pelajaran penting dari pengalaman: bawa baju yang boleh kotor total. Workshop pottery itu messy banget, dan clay stains susah banget dihilangin. Saya pake baju putih – totally wrong choice. Sepatu juga pilih yang anti-slip dan waterproof, karena workshop floor bisa slippery karena air dan clay.
Penyesalan terbesar: lupa bawa power bank. HP saya mati pas golden hour, padahal sunset view dari Pomaire itu cantik banget dengan backdrop pegunungan. Lesson learned: always bring backup power, especially di area rural yang charging point-nya terbatas.
Untuk yang mau beli keramik, bawa tas waterproof atau plastic bag extra. Beberapa keramik yang baru di-glaze masih slightly wet, dan bubble wrap gratis cuma dikasih sama toko-toko besar. Toko kecil biasanya cuma kasih koran bekas buat wrapping.
Refleksi dan Rekomendasi
Sekarang, beberapa bulan setelah trip ke Pomaire, saya bisa bilang kalau ini jadi salah satu highlight perjalanan Chile saya. Bukan karena Instagram-worthy moments (meski ada juga sih), tapi karena meaningful experience yang susah dilupain.
Pomaire nggak akan kasih you that “wow factor” instant kayak Machu Picchu atau Torres del Paine. Tapi tempat ini kasih something yang lebih subtle tapi profound: connection dengan tradisi yang udah berumur berabad-abad, appreciation terhadap craftsmanship, dan reminder bahwa slow travel sometimes lebih rewarding daripada rushing through bucket list destinations.
Rekomendasi saya: allocate full day untuk Pomaire, jangan cuma setengah hari. Morning buat workshop pottery, afternoon buat explore desa dan interact sama locals, evening buat makan dan shopping. Rush trip cuma bakal bikin you miss the essence of this place.
Yang penting juga, support craftsman lokal dengan beli produk handmade mereka, bukan souvenir mass-produced. Harga memang lebih mahal, tapi you’re supporting tradition yang udah survive 400 tahun dan helping local economy.
Sampai sekarang, setiap kali saya liat mangkuk clay buatan sendiri yang ada di dapur rumah, langsung keinget aroma tanah liat, suara pottery wheel yang berputar, dan senyum sabar Don Pedro waktu ngajarin saya. Sometimes the best souvenirs aren’t the perfect ones, but the ones with stories behind them.
Kalau kalian pernah ke Pomaire juga, atau punya rencana kesana, share experience kalian di comment ya! Saya penasaran sama perspective orang lain tentang tempat yang udah bikin saya fall in love dengan traditional craftsmanship ini.
Tentang penulis: Budi berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.