Vicuña: Kampung Halaman Pisco Terbaik – Petualangan Saya di Lembah Elqui yang Bikin Ketagihan
Jujur, saya nggak pernah kepikiran bakal jatuh cinta sama kota kecil di tengah gurun Chile yang namanya susah diucapin. Vicuña. Vic-u-ña. Sampai sekarang masih suka salah ngomongnya. Tapi ya sudahlah, yang penting pengalamannya nggak akan pernah saya lupain.
Artikel terkait: Antofagasta: Jendela Menuju Alam Semesta
Awal Mula Keputusan Spontan ke Vicuña
Semuanya berawal dari scrolling Instagram jam 2 pagi – kebiasaan buruk yang kayaknya susah dihilangkan ya. Ada foto segelas pisco yang warnanya golden gitu, dengan background pegunungan Andes yang dramatis banget. Caption-nya bilang ini “authentic pisco experience in Vicuña”. Saya langsung kepikiran, “Wah, pisco itu kan minuman nasional Chile, tapi kok saya belum pernah nyoba yang asli?”
Tanpa mikir panjang (ini kebiasaan impulsif saya yang kadang bikin kantong jebol), jam 3 pagi itu juga saya buka laptop dan mulai hunting tiket. Ternyata dari Santiago ke Vicuña lumayan ribet – harus naik bus sekitar 5 jam ke arah utara. Tapi entah kenapa justru itu yang bikin saya makin penasaran.
Yang bikin deg-degan, pas udah booking bus dan hotel, saya baru sadar kalau Vicuña ini letaknya di tengah-tengah Atacama Desert. Gurun paling kering di dunia, guys! GPS di HP mulai ngadat pas udah masuk wilayah Region IV. Sinyal hilang-timbul, dan yang paling bikin panik adalah baterai HP yang udah merah padahal perjalanan masih sejam lagi.
Tunggu, ternyata saya salah baca peta tadi. Vicuña itu nggak persis di tengah gurun, tapi di Lembah Elqui yang subur. Untung aja ada teman seperjuangan di bus yang kasih tau – dia orang lokal yang balik kampung. “Elqui Valley is like oasis,” katanya dengan bahasa Inggris yang pas-pasan tapi ramah banget.
Pro tip dari pengalaman pahit: Sebelum ke daerah terpencil kayak gini, wajib download peta offline di Google Maps. Jangan andalin data seluler doang. Dan selalu bawa power bank – ini bukan saran, tapi perintah!
Pas udah sampai terminal bus Vicuña, saya langsung merasa kayak masuk ke film western. Kota kecil dengan arsitektur kolonial Spanyol, dikelilingi pegunungan yang warnanya berubah-ubah tergantung waktu. Sore itu langit lagi golden hour, dan saya langsung paham kenapa tempat ini jadi magnet buat photographer dan wine enthusiast.
Yang bikin saya terharu, begitu turun bus langsung ada bapak-bapak tua yang nawarin jadi guide. “¿Necesita ayuda, amigo?” Meskipun bahasa Spanyol saya cuma sebatas “hola” dan “gracias”, somehow komunikasi tetep jalan. Universal language of kindness, katanya.
Menjelajahi Kebun Anggur Tradisional – Bukan Sekadar Wine Tour Biasa
Distillery Tres Erres – Penemuan Tak Terduga
Hari kedua, saya udah siap-siap buat tur kebun anggur yang udah direncanain. Tapi ternyata nasib berkata lain. Pas lagi jalan-jalan pagi di sekitar plaza utama, nggak sengaja ketemu sama Señor Rodriguez – pemilik Distillery Tres Erres yang kebetulan lagi beli roti di toko sebelah hotel.
Awalnya saya pikir dia cuma bapak-bapak biasa yang ramah. Eh ternyata pas ngobrol-ngobrol, dia yang punya salah satu distillery pisco tertua di Vicuña! “You want to see real pisco making? Not tourist show,” katanya sambil ketawa. Ya udah, rencana tur mahal langsung saya cancel.
Distillery Tres Erres ini family-owned sejak 1920-an. Beda banget sama tur komersial yang biasanya udah diatur sedemikian rupa buat turis. Di sini saya bener-bener ngeliat proses pembuatan pisco dari A sampai Z. Mulai dari fermentasi anggur Moscatel di tangki clay tradisional, sampai distilasi pake alembic copper yang udah berumur puluhan tahun.
Yang bikin terkesan, Señor Rodriguez jelasin setiap step dengan passion yang luar biasa. “Pisco is not just drink, is culture, is history of our people,” katanya sambil nunjukin foto-foto keluarga yang udah turun-temurun bikin pisco.

Nilai uang yang penting: Kalo ikut tur komersial, biayanya sekitar 25.000 peso per orang (sekitar 400 ribu rupiah). Tapi kalo dateng langsung ke distillery kecil kayak gini dan kebetulan ketemu ownernya, cuma bayar tip seikhlasnya. Saya kasih 10.000 peso dan dia udah seneng banget.
Satu kesalahan yang sering dilakukan turis (termasuk saya hampir aja): dateng pas jam siesta (jam 1-4 sore). Hampir semua distillery tutup di jam segitu. Best time adalah pagi jam 9-12 atau sore jam 4-6.
Sensasi Mencicipi Pisco Langsung dari Tong
Momen paling memorable adalah pas Señor Rodriguez nawarin nyicipin pisco langsung dari tong kayu yang lagi proses aging. Awalnya saya skeptis – soalnya dulu pernah nyoba pisco di Jakarta dan rasanya kayak alkohol murahan yang bikin tenggorokan panas.
Tapi begitu nyicipin yang ini… astaga! Beda banget! Smooth, fruity, dengan after-taste yang warm tapi nggak burning. “This is 8 years aged,” jelasnya. “We use American oak barrel, very different from industrial pisco.”
Artikel terkait: Radal Siete Tazas: Tujuh Mangkuk Air Terjun Ajaib
Yang bikin frustasi adalah pas mau foto-foto buat Instagram, sinyal di area distillery lemah banget. Jadi nggak bisa langsung upload story yang keren. Tapi ya sudahlah, kadang pengalaman yang terbaik memang harus dinikmati tanpa distraksi media sosial.
Señor Rodriguez juga cerita soal komitmen mereka ke organic farming. “We no use pesticide since 2018. Better for earth, better for taste.” Hearing this made me realize how important sustainable tourism is, especially in fragile ecosystems like Elqui Valley.
Eh, kok saya bilang 5 varietas tadi ya? Sebenarnya ada 6 jenis anggur yang mereka tanam: Moscatel, Pedro Ximénez, Torontel, Moscatel Amarilla, Moscatel Rosada, dan Moscatel de Austria. Each with different characteristics for different pisco types.
Wisata Agro Beyond Pisco – Kejutan Kuliner Lokal
Satu hal yang nggak saya expect dari Vicuña adalah diversity produk agrikulturnya. Selain anggur, ternyata daerah ini juga terkenal sama kebun kurma, papaya, dan yang paling unik: goat cheese artisanal.
Random observation: kenapa kambing di sini lebih gemuk dan sehat-sehat dibanding yang pernah saya liat di Garut? Ternyata karena iklim semi-arid dan vegetasi alami yang kaya mineral. Plus, peternak di sini masih pake metode traditional grazing yang lebih sustainable.
Pas explore pasar tradisional (yang buka cuma Selasa, Kamis, dan Sabtu), saya nemuin stand yang jual kurma fresh. Bukan kurma kering kayak yang biasa kita beli di supermarket, tapi kurma segar yang baru dipetik. Rasanya? Kayak makan permen alami yang super sweet tapi nggak bikin eneg.
Yang bikin saya penasaran adalah stand yang jual “miel de palma” – palm honey yang dibuat dari getah pohon kurma. Proses pembuatannya tradisional banget, dan rasanya unique – kayak campuran madu dengan brown sugar, tapi lebih complex.
Decision value yang penting: Hindari makan di restoran yang ada di jalan utama dekat plaza. Overpriced dan rasanya standard. Mending cari warung lokal yang biasanya ada di jalan-jalan kecil. Saya nemu satu warung yang dijalanin ibu-ibu, namanya “Donde la Tía Rosa”. Empanada de pino-nya juara banget, cuma 2.000 peso per piece.
Pengalaman gagal total: saya nyoba masak empanada sendiri di hostel. Disaster! Kulitnya sobek-sobek, isiannya tumpah kemana-mana, dan dapur jadi kayak habis perang. Lesson learned: some things are better left to the experts.

Pasar Tradisional Vicuña – Hidden Gem
Pasar tradisional Vicuña ini letaknya agak tersembunyi, sekitar 3 blok dari plaza utama. Kebanyakan turis nggak tau karena memang nggak ada di most travel guides. Saya nemuin ini karena ngikutin ibu-ibu yang bawa keranjang belanja.
Timing is everything: Pasar ini paling rame dan fresh jam 7-9 pagi. Setelah jam 10, pilihan udah berkurang dan harga mulai naik. Pedagang di sini ramah banget, meskipun bahasa Spanyol saya broken, mereka sabar banget ngajarin nama-nama buah dan sayur lokal.
Yang mengejutkan, beberapa pedagang udah mulai terima pembayaran digital pake app lokal Chile. Tapi mayoritas masih cash only, jadi pastiin bawa peso secukupnya.
Interaksi paling memorable adalah sama Doña Carmen, pedagang sayur yang udah 30 tahun jualan di pasar ini. Dia cerita gimana perubahan Vicuña dari kota kecil yang sepi jadi destinasi wisata. “Antes muy tranquilo, ahora más turistas pero bueno para economía,” katanya sambil ngasih saya taste merkén – bumbu tradisional Chile yang made from smoked chili.
Akomodasi dan Logistik – Realita di Balik Foto Pinterest
Sebelum berangkat, saya udah bookmark beberapa hotel boutique yang foto-fotonya aesthetic banget di Pinterest. Ternyata realitanya… well, let’s just say Instagram vs reality is real, guys.
Hotel pertama yang saya book, “Casa Colonial Vicuña”, dari foto kayaknya charming banget dengan courtyard yang penuh tanaman. Pas sampai, memang sih architecturenya colonial style yang cantik, tapi kondisinya agak… worn out. Air panas sering mati, WiFi lemot banget sampe video call sama keluarga putus-putus terus, dan yang paling annoying: AC-nya berisik kayak mesin cuci rusak.
Artikel terkait: Cita Rasa Autentik Chile: Kuliner yang Menggugah Selera
Tidak, saya salah, ternyata ada hotel lain yang lebih oke dan harganya lebih reasonable. Setelah complain (dengan sopan) dan dapet refund partial, saya pindah ke “Hosteria Vicuña” yang family-owned. Much better! Ownernya, Señora Martinez, super helpful dan kasih banyak insider tips.
Money-saving tip: Daripada book hotel boutique yang overpriced, mending cari homestay atau hosteria family-owned. Selain lebih authentic, biasanya lebih murah 60% dan dapat breakfast homemade yang enak. Plus, host-nya bisa jadi guide lokal yang valuable banget.
Practical checklist yang sering terlupa:
– Bawa adapter universal (Chile pake Type C sama Type L)
– Sunscreen SPF minimal 50 (UV di altitude tinggi brutal!)
– Jaket tebal buat malam (temperature drop drastis)
– Cash peso secukupnya (banyak tempat belum terima kartu)
Parking situation: Kalo rent car, pastiin hotel atau homestay punya secure parking. Jalanan di Vicuña sempit dan parkir di pinggir jalan berisiko. Hosteria Vicuña punya courtyard yang bisa buat parkir, dan itu jadi salah satu alasan saya betah stay di sana.
Aktivitas Wajib dan yang Bisa Dilewati
Observatory Cerro Mamalluca – Worth It atau Overhyped?
Ini salah satu aktivitas yang paling hyped di Vicuña. Cerro Mamalluca Observatory katanya punya clear sky terbaik di dunia buat stargazing. Hype-nya real atau nggak?
Perjalanan ke observatorium ini challenging banget. Naik bukit dengan kemiringan yang bikin kaki lemes, udah gitu anginnya kenceng dan dingin. Pas udah capek-capek naik, ternyata masih harus antri 30 menit buat masuk dome utama.

Tapi begitu liat langit malam dari teleskop mereka… speechless! Milky Way keliatan jelas banget, planet Saturn dengan cincin-cincinnya, dan nebula yang warnanya kayak lukisan. Guide-nya, Carlos, passionate banget jelasin constellation dan mythology behind each star pattern.
Photography tip: Kalo nggak punya tripod mahal, bisa pake teknik DIY. Taro HP di atas tas atau batu yang stabil, set timer, dan hold breath pas shutter. Hasilnya lumayan oke buat social media.
Yang mengecewakan adalah tur sunset di Mirador Gabriela Mistral. Overhyped banget! View-nya standard, dan guide-nya kayak ngomong dari script yang udah dihafal. Mending explore sendiri dan nemuin spot foto yang lebih unik.
Unexpected discovery: Spot foto terbaik yang saya temuin secara nggak sengaja adalah di belakang Iglesia San Vicente. Ada small hill yang bisa didaki 10 menit, dan dari atas bisa liat panorama Vicuña dengan background Andes Mountains. Gratis, nggak crowded, dan viewnya nggak kalah sama paid attractions.
Kemarin temen DM Instagram nanya soal cuaca di sini. FYI, Januari-Februari is summer season, tapi malemnya tetep dingin. Temperature bisa drop dari 30°C siang hari jadi 5°C malem. Jadi jangan lupa bawa layering clothes!
Budget Breakdown dan Tips Hemat ala Backpacker Receh
Oke, ini bagian yang paling ditunggu-tunggu. Full transparency soal pengeluaran saya selama 4 hari 3 malam di Vicuña:
Transportation:
– Bus Santiago-Vicuña (round trip): 32.000 peso
– Local transport (taksi, colectivo): 8.000 peso
Accommodation:
– Hotel boutique (1 malam): 45.000 peso
– Hosteria Vicuña (2 malam): 30.000 peso
Food & Drink:
– Restaurant meals: 25.000 peso
– Street food & market: 12.000 peso
– Pisco tasting: 15.000 peso
Artikel terkait: Pumalín Park: Komitmen Pelestarian Alam Chile
Activities:
– Observatory tour: 18.000 peso
– Distillery visits: 5.000 peso (tips)
– Miscellaneous: 10.000 peso
Total: 200.000 peso (sekitar 3,2 juta rupiah)
Eh, tadi saya bilang 500 ribu ya? Kok saya hitung lagi jadi 450… Ah iya, itu karena ada unexpected discount di hosteria karena saya extend stay.
Money-saving strategies yang proven works:
1. Makan siang di warung lokal, dinner agak fancy – balance antara hemat dan experience
2. Beli snack dan air mineral di supermarket, jangan di tourist area
3. Join group tour kalo solo travel – split cost untuk transport
4. Nego harga di pasar tradisional, tapi reasonable ya jangan pelit banget

Cultural sensitivity soal tip: Di Chile, tip nggak wajib tapi appreciated. 10% di restaurant udah cukup. Buat guide atau driver, 2.000-5.000 peso per day is fair.
Environmental choice: Saya pilih naik bus daripada flight internal karena carbon footprint-nya lebih kecil. Plus, perjalanan darat kasih chance buat liat landscape Chile yang diverse.
Refleksi Perjalanan – Mengapa Vicuña Bikin Ketagihan
Sekarang udah 3 bulan sejak pulang dari Vicuña, tapi masih sering kebayang-bayang momen-momen di sana. Bukan cuma karena pisconya yang enak atau pemandangannya yang stunning, tapi ada sesuatu yang deeper.
Mungkin karena pace of life di sana yang slow banget. Dari yang biasanya always rushing, di Vicuña saya belajar appreciate small moments. Kayak duduk di plaza sambil ngeliat sunset, ngobrol sama local people tanpa agenda apa-apa, atau sekadar jalan-jalan tanpa destination yang pasti.
Ada satu momen yang paling berkesan: pas sore terakhir, saya duduk di teras hosteria sambil nyicipin pisco yang dibeli dari Tres Erres. Señora Martinez duduk sebelah, ngajarin cara proper pisco tasting. “Pisco is like life,” katanya. “You need to slow down to taste all the flavors.”
Cultural learning yang paling valuable adalah soal community spirit. Di Vicuña, everyone knows everyone. Bukan cuma kenal nama, tapi genuinely care sama satu sama lain. Something yang rare di big cities.
Recommendation berdasarkan tipe traveler:
– Solo travelers: Perfect buat self-reflection dan cultural immersion
– Couples: Romantic setting, especially sunset di observatory
– Photographers: Golden hour di sini magical banget
– Wine/spirits enthusiasts: Obviously, this is your paradise
– Cultural travelers: Rich history dan traditional practices masih preserved
Sejujurnya, saya nggak nyangka Vicuña bakal segini berkesan. Padahal awalnya cuma spontaneous trip karena liat foto Instagram. Tapi ternyata jadi salah satu perjalanan yang most meaningful dalam hidup saya.
Planning buat balik lagi tahun depan, tapi kali ini mau explore lebih dalam ke surrounding valleys. Kata Señor Rodriguez, ada hidden distilleries yang cuma diketahui locals. Dan saya penasaran banget sama harvest season di March-April, katanya atmosphere-nya beda banget.
Buat yang lagi consider Vicuña sebagai destination, my advice: just go! Don’t overthink, don’t over-plan. Sometimes the best experiences come from unexpected discoveries dan spontaneous decisions. Vicuña taught me that slow travel is not about doing less, but about experiencing more deeply.
Update: Saat saya menulis artikel ini (Januari 2025), temen-temen di WhatsApp group travel pada nanya soal rute terbaik ke Vicuña. Kayaknya artikel ini bakal jadi reference guide buat mereka. Hope it helps fellow travelers yang pengen explore this hidden gem di Chile!
Tentang penulis: Budi berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.