Quellón: Nikmatnya Seafood Segar Chiloé – Petualangan Kuliner di Ujung Selatan Pulau
Sejujurnya, awalnya saya ragu banget mau ke Quellón. Teman-teman yang sudah pernah ke Chiloé kebanyakan cuma sampai Castro atau Ancud aja, terus pulang. “Quellón mah ujung banget, jauh, nggak ada apa-apa,” kata mereka. Tapi entah kenapa, justru komentar itu yang bikin saya penasaran. Mungkin karena saya tipe orang yang suka tantangan, atau mungkin karena saya lagi bosan sama destinasi mainstream yang itu-itu aja.
Artikel terkait: Torres del Paine: Tantangan Mendaki yang Mengubah Hidup
Keputusan akhirnya datang dari scrolling Instagram tengah malam (kebiasaan buruk yang susah dihilangkan). Ada postingan dari akun travel blogger Chile yang ngepost foto sunset di pelabuhan kecil dengan caption “Hidden gem of Chiloé”. Lokasinya? Quellón. Langsung deh saya screenshot dan masukin ke wishlist perjalanan February 2025 ini.
Perjalanan Menuju Quellón – Ekspektasi vs Realita
Dari Castro, perjalanan ke Quellón memakan waktu sekitar 2 jam naik bus. Saya berangkat pagi-pagi sekitar jam 8, dengan ekspektasi tinggi berdasarkan foto-foto Instagram yang udah saya stalk semalam suntuk. Bus yang saya naik lumayan nyaman, tapi pemandangan sepanjang jalan… ya gimana ya, agak monoton sih. Hutan, sawah, hutan lagi, sesekali rumah-rumah kayu khas Chiloé.
Yang bikin sedikit frustasi, sinyal HP hilang-timbul sepanjang perjalanan. Padahal saya udah planning mau posting Instagram story real-time. Akhirnya saya pasrah aja, nikmatin pemandangan sambil dengerin musik offline. Mungkin ini blessing in disguise, jadi lebih fokus sama journey-nya daripada sibuk dokumentasi.
Sampai di terminal bus Quellón, kesan pertama saya… hmm, biasa aja. Kota kecil yang terlihat sepi, tidak se-dramatis foto-foto yang saya lihat di Instagram. Terminal busnya juga sederhana banget, cuma bangunan kecil dengan beberapa toko kelontong di sekitarnya. Sempat mikir, “Kok kayaknya saya salah ekspektasi ya?”
Tapi tunggu dulu, saya inget nasihat mama yang selalu bilang, “Jangan judge tempat dari kesan pertama.” Jadi saya putuskan untuk kasih waktu lebih buat Quellón menunjukkan pesonanya. Keputusan yang ternyata sangat tepat.
Kehidupan Nelayan Quellón – Ritual Pagi yang Tak Terlupakan
Hari kedua di Quellón, saya nekat bangun subuh jam 5 pagi. Padahal biasanya saya tipe orang yang susah banget bangun pagi, apalagi pas liburan. Tapi entah kenapa ada dorongan kuat untuk liat aktivitas pelabuhan di pagi hari. Mungkin karena semalem saya denger suara kapal-kapal nelayan yang mulai bersiap dari jam 4 subuh.
Berjalan kaki dari penginapan ke pelabuhan cuma butuh 10 menit. Udara pagi masih dingin banget, sekitar 8-9 derajat, napas saya sampai keluar uap. Tapi begitu sampai di pelabuhan, semua rasa kantuk langsung hilang. Pemandangan di depan mata benar-benar memukau.
Puluhan kapal nelayan dengan warna-warni cerah sedang bongkar muatan hasil tangkapan semalam. Suara burung camar yang berebut sisa-sisa ikan, percakapan nelayan dalam bahasa Spanyol yang bercampur dialek lokal, dan aroma laut yang khas – semuanya menciptakan simfoni pagi yang tak terlupakan.

Di situ saya ketemu dengan Don Carlos (saya sebut begitu karena beliau minta namanya jangan disebutin), nelayan berusia sekitar 60an yang udah 40 tahun mengabdikan hidupnya untuk laut Chiloé. Awalnya saya agak ragu mau nyapa, takut mengganggu pekerjaannya. Tapi ternyata beliau ramah banget, malah ngajak saya ngobrol sambil menyortir hasil tangkapan.
“Laut Chiloé itu istimewa, mijo,” kata Don Carlos sambil menunjukkan king crab raksasa yang baru saja diangkat dari kapalnya. “Airnya dingin, jadi seafood-nya lebih segar dan berisi.” Beliau jelasin kalau king crab terbaik biasanya ditangkap di kedalaman 200-300 meter, dan butuh teknik khusus supaya nggak rusak saat diangkat.
Yang bikin saya terharu, Don Carlos ngajak saya ikut menyortir hasil tangkapan. Tangan saya yang biasanya cuma pegang mouse dan keyboard, tiba-tiba harus berurusan dengan kerang-kerang licin dan ikan-ikan yang masih bergerak. Hasilnya? Tangan saya bau amis seharian, tapi pengalaman yang didapat nggak ternilai.
Artikel terkait: Radal Siete Tazas: Tujuh Mangkuk Air Terjun Ajaib
Ada momen dilema juga sih. Saya pengen banget foto aktivitas ini buat konten Instagram, tapi di sisi lain saya nggak mau terlihat seperti turis yang eksploitatif. Akhirnya saya putuskan untuk minta izin dulu sebelum foto, dan lebih banyak menikmati momen daripada sibuk dokumentasi.
Petualangan Kuliner Seafood – Dari Kios Pinggir Jalan hingga Restoran
Kios Seafood Pinggir Jalan – Hidden Gems yang Bikin Nagih
Setelah puas dengan pengalaman di pelabuhan, perut mulai keroncongan. Awalnya saya mau cari restoran yang udah ada di Google Maps, tapi malah tersesat di jalan-jalan kecil Quellón. Blessing in disguise lagi nih, karena saya nemuin warung kecil yang dikelola oleh Doña Maria.
Warungnya sederhana banget, cuma tenda plastik dengan beberapa meja kayu. Tapi aroma yang keluar dari dapur kecilnya… astaga, bikin air liur langsung netes. Menu yang ditawarkan bikin saya bingung, karena nama-nama seafood lokal yang susah diingat. Ada cholgas, machas, navajuelas, dan masih banyak lagi yang bahkan Google Translate pun nyerah.
Akhirnya saya putuskan pesan curanto en hoyo, masakan tradisional Chiloé yang kata Don Carlos wajib dicoba. Prosesnya unik banget – seafood dan sayuran dimasak dalam lubang tanah yang dipanaskan dengan batu panas. Hasilnya? Rasa yang overwhelming dalam artian positif. Kombinasi rasa laut yang segar dengan aroma asap dari proses memasak tradisional.
Tapi ada sedikit kekecewaan juga sih. Harganya ternyata lebih mahal dari perkiraan, sekitar 15.000 peso (sekitar 200 ribu rupiah) untuk satu porsi. Awalnya saya mikir, “Wah, mahal juga ya buat warung pinggir jalan.” Tapi setelah makan dan ngerasain kualitasnya, saya akuin worth it banget.
Restoran Tepi Laut – Pengalaman Fine Dining ala Quellón
Sore harinya, berdasarkan rekomendasi dari sopir taksi yang nganter saya balik ke penginapan, saya cobain restoran tepi laut yang katanya punya view sunset terbaik di Quellón. Nama restorannya Restaurant Austral, lokasinya persis di tepi laut dengan pemandangan langsung ke Golfo Corcovado.

Timing-nya pas banget, saya datang sekitar jam 6 sore, tepat saat golden hour. Pemandangan matahari terbenam di atas laut sambil makan seafood segar… ini yang namanya perfect moment. Saya pesan signature dish mereka: salmon ahumado (salmon asap) dan king crab yang segar banget.
Salmon ahumado-nya beda banget sama yang biasa saya makan di Jakarta. Teksturnya lebih firm, rasa smoky-nya lebih natural, dan yang paling penting – nggak amis sama sekali. Ternyata salmon-salmon ini hasil budidaya lokal di perairan Chiloé yang memang terkenal dengan kualitas airnya.
King crab-nya juga luar biasa. Ukurannya hampir sebesar piring, dengan daging yang sweet dan juicy. Cara makannya agak ribet sih, butuh tools khusus buat buka cangkangnya. Tapi sekali berhasil, daging kepiting yang keluar itu worth all the effort.
Awalnya saya sempet kaget sama harganya – sekitar 35.000 peso (hampir 500 ribu rupiah) untuk satu porsi king crab. Tapi setelah lihat porsi dan kualitasnya, plus pemandangan sunset yang spektakuler, saya rasa sebanding lah. Lagipula, kapan lagi bisa makan king crab segar langsung dari laut sambil nonton sunset?
Jenis-Jenis Seafood Khas Chiloé – Panduan Praktis untuk Foodie
Selama 3 hari di Quellón, saya sempat nyobain berbagai jenis seafood lokal yang mungkin nggak bakal ketemu di tempat lain. Ini pengalaman tasting yang cukup menantang, karena beberapa jenis seafood ini bentuknya… agak intimidating.
Artikel terkait: Menjelajahi Keajaiban Gurun Atacama: Surga Tersembunyi di Chile
Centolla (King Crab) – Ini yang paling memorable. Ukurannya bisa sebesar helm motor, dengan kaki-kaki panjang yang agak serem diliat. Tapi begitu berhasil buka cangkangnya, daging di dalamnya sweet banget dan teksturnya lembut. Tips dari pengalaman: minta tolong waitress buat ajarin cara buka yang benar, soalnya saya sempet struggle hampir 15 menit.
Cholgas – Kerang raksasa yang awalnya bikin saya takut. Bentuknya kayak kerang biasa tapi ukurannya sebesar telapak tangan dewasa. Rasanya unik, ada hint manis-manis gurih, dengan tekstur yang agak kenyal. Cara makannya simpel, tinggal sedot aja dari cangkangnya.
Salmon Chiloé – Ini yang paling familiar buat lidah orang Indonesia. Tapi salmon Chiloé punya karakteristik khusus: dagingnya lebih firm, warnanya lebih orange, dan rasa lautnya lebih pronounced. Biasanya dimasak dengan cara diasap atau dibakar dengan bumbu lokal.
Machas – Kerang lokal yang jadi favorit tak terduga. Ukurannya kecil, tapi rasanya intense banget. Biasanya dimasak dengan white wine dan garlic. Teksturnya tender dan rasanya sweet dengan sedikit hint briny.
Yang bikin seru, saya sempet kesulitan translate nama-nama seafood ini pakai Google Translate. Akhirnya harus pakai bahasa isyarat sama penjual, tunjuk-tunjuk seafood yang mau dibeli. Untung penjualnya sabar dan pengertian, malah ngajarin saya nama-nama dalam bahasa Spanyol.

Tips praktis dari pengalaman saya: kalau mau beli seafood segar, datang pagi-pagi sekitar jam 7-8 saat hasil tangkapan baru sampai. Harganya lebih murah dan pilihannya lebih banyak. Buat yang nggak biasa makan seafood mentah atau setengah matang, lebih baik pesan yang dimasak well-done.
Tips Praktis dan Kesalahan yang Harus Dihindari
Dari pengalaman 3 hari di Quellón, ada beberapa hal yang saya wish tau dari awal. Pertama soal timing kunjungan. Saya datang bulan Februari, yang ternyata masih musim sepi. Beberapa restoran tutup, dan pilihan akomodasi terbatas. Kalau mau dapat pengalaman maksimal, better datang bulan Desember-Januari atau Maret-April.
Soal pembayaran, ini yang agak tricky. Sebagian besar tempat makan kecil cuma terima cash, tapi beberapa restoran besar udah bisa kartu kredit. ATM di Quellón juga terbatas, cuma ada 2-3 unit di pusat kota. Jadi better siapkan cash cukup dari Castro sebelum berangkat.
Yang bikin saya nyesel, awalnya saya mau beli banyak seafood buat oleh-oleh. Udah beli salmon asap, king crab kalengan, dan machas kering. Tapi pas mau packing, baru sadar kalau seafood butuh penanganan khusus. Akhirnya beli styrofoam dan es batu, plus harus extra hati-hati pas perjalanan balik.
Tips hemat yang terbukti ampuh: makan di warung-warung lokal bisa menghemat 40-50% dibanding restoran turis. Terus, beli seafood langsung dari nelayan di pelabuhan bisa dapat harga 30% lebih murah. Tapi harus punya skill negotiation dan bisa bahasa Spanyol basic.
Kesalahan yang harus dihindari: jangan datang pas hari Minggu kalau mau pengalaman lengkap. Sebagian besar nelayan libur, jadi aktivitas pelabuhan sepi. Terus, jangan lupa bawa jaket tebal, karena angin laut Quellón dingin banget, terutama sore dan malam.
Artikel terkait: Pumalín Park: Komitmen Pelestarian Alam Chile
Oh ya, saat saya nulis artikel ini, teman WhatsApp saya tanya soal tips beli salmon. Ternyata salmon segar di Quellón itu bisa tahan 2-3 hari kalau disimpan dengan es yang cukup. Tapi kalau mau bawa pulang ke Jakarta, lebih aman beli yang udah diasap atau diproses.
Dampak Lingkungan dan Wisata Berkelanjutan – Refleksi Personal
Selama ngobrol dengan para nelayan, saya dapet insight menarik soal kondisi laut Chiloé. Don Carlos cerita kalau dalam 20 tahun terakhir, ada perubahan signifikan di ekosistem laut. Beberapa spesies ikan mulai berkurang, dan lokasi penangkapan harus makin jauh dari pantai.
“Dulu, cuma perlu 2-3 jam dari pelabuhan udah dapat ikan bagus. Sekarang harus 5-6 jam, bahkan kadang sampai overnight,” cerita Don Carlos dengan nada sedih. Perubahan iklim dan overfishing jadi faktor utama yang mempengaruhi mata pencaharian mereka.

Hal ini bikin saya mikir ulang soal konsumsi seafood. Awalnya saya mau beli banyak-banyak buat oleh-oleh, tapi setelah denger cerita para nelayan, jadi lebih aware. Akhirnya saya putuskan cuma beli secukupnya, dan lebih fokus menikmati pengalaman daripada konsumsi berlebihan.
Beberapa praktik sustainable yang saya observe di Quellón cukup encouraging. Misalnya, ada regulasi ukuran minimum untuk king crab yang boleh ditangkap. Nelayan juga mulai menggunakan alat tangkap yang lebih selektif untuk mengurangi bycatch.
Sebagai turis, saya coba terapin beberapa prinsip wisata berkelanjutan. Pilih restoran yang sumber seafood-nya dari nelayan lokal, hindari pesan seafood yang sedang musim kawin, dan nggak buang-buang makanan. Small actions, tapi kalau dilakukan banyak orang bisa berdampak positif.
Kesimpulan – Quellón yang Tak Terlupakan
Tiga hari di Quellón benar-benar mengubah perspektif saya tentang hidden gems. Dari ekspektasi yang biasa aja, sampai akhirnya jatuh cinta sama kota kecil ini. Momen paling berkesan? Sunrise di pelabuhan sambil ngopi bareng para nelayan, dengerin cerita-cerita mereka tentang laut dan kehidupan.
Quellón cocok banget buat traveler yang suka authentic experience dan nggak keberatan sama pace yang slow. Kalau kamu tipe yang suka nightlife atau shopping, mungkin tempat ini kurang cocok. Tapi kalau kamu appreciate natural beauty, local culture, dan culinary adventure, Quellón wajib masuk wishlist.
Yang bikin saya terharu, warmth dari masyarakat lokal yang genuine banget. Mereka nggak terlihat komersial atau pushy, tapi benar-benar welcome dan proud sama kampung halaman mereka. Pengalaman yang susah didapat di destinasi mainstream yang udah terlalu touristy.
Saya udah planning balik ke Quellón tahun depan, mungkin bulan Desember buat ngerasain peak season. Pengen nyobain festival seafood lokal yang kata Don Carlos diadakan setiap tahun. Plus, masih penasaran sama beberapa spot yang belum sempat saya explore.
Buat yang tertarik berkunjung, my advice: datang dengan ekspektasi yang realistic, siapkan budget yang cukup, dan yang paling penting – buka hati dan pikiran untuk pengalaman yang berbeda. Quellón mungkin nggak akan kasih kamu Instagram-worthy photos setiap detik, tapi akan kasih kamu memories yang jauh lebih berharga.
Tentang penulis: Budi berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.